Tagar satir “Habis Pati Terbitlah UST” merajai perbincangan di TikTok dan Instagram, merujuk pada kejadian di Pati yang sebelumnya memicu kemarahan publik terhadap pejabat.
Rekaman yang diunggah melalui TikTok (https://vt.tiktok.com/ZSSKWAfDp/) dan Instagram (tautan https://www.instagram.com/p/DNWq26GyDAp/?igsh=MWRrcjVmaXljcHl3OA== , tautan https://www.instagram.com/p/DNWxqS_BXYd/?igsh=NW5hemltd2szc3J0) memperlihatkan gaya komunikasi sang rektor yang dinilai sejumlah mahasiswa arogan dan merendahkan. Dalam percakapan itu, rektor bahkan menyebut orang tua mahasiswa “tidak mendidik dengan baik” serta mengkritik keras organisasi mahasiswa.
Bagi banyak pihak, ucapan seperti itu bukan hanya persoalan etika komunikasi, tetapi juga mencederai nilai luhur pendidikan Tamansiswa yang didirikan Ki Hadjar Dewantara.
Kontras dengan Sistem Among
Ki Hadjar Dewantara merumuskan Sistem Among, filosofi pendidikan yang menempatkan pendidik sebagai pamong — pengasuh, pembimbing, dan pelindung yang memerdekakan cara berpikir peserta didik.
Prinsip utamanya adalah:
Ing ngarso sung tulodo: di depan memberi teladan
Ing madya mangun karso: di tengah membangkitkan semangat
Tut wuri handayani: di belakang memberikan dorongan
Sistem among mengajarkan bahwa hubungan pendidik-mahasiswa adalah hubungan saling menghormati. Seorang pamong tidak menekan atau menjatuhkan martabat peserta didik, melainkan menumbuhkan keberanian dan kemandirian mereka.
“Kalau rektor berbicara kasar dan merendahkan mahasiswa, apalagi membawa nama orang tua, itu jelas bertentangan dengan tut wuri handayani. Pendidikan bukan menaklukkan, tapi membimbing,” kata seorang dosen senior Tamansiswa yang enggan disebut namanya, Minggu (17/8/2025).
Cermin Krisis Kepemimpinan Akademik
Kasus ini memicu diskusi luas tentang kualitas kepemimpinan akademik di Indonesia. Di tengah komersialisasi pendidikan dan birokratisasi kampus, sejumlah pihak khawatir bahwa perguruan tinggi mulai kehilangan ruh sebagai taman belajar yang memerdekakan pikiran.
“Ki Hadjar Dewantara mendirikan Tamansiswa untuk membebaskan bangsa dari penindasan, baik oleh kolonial maupun oleh perilaku pendidik yang tidak memanusiakan. Kalau hari ini ada rektor yang malah bersikap seperti itu, ini alarm moral bagi dunia pendidikan kita,” ujar seorang aktivis mahasiswa Yogyakarta.
Perdebatan ini masih bergulir di ruang publik, dan publik menantikan klarifikasi resmi dari pihak rektorat UST. Bagi banyak orang, kasus ini bukan sekadar persoalan kata-kata, tapi pertaruhan warisan pendidikan nasional.
Sementara itu saat dikonfirmasi melalui no WhatsApp (WA) miliknya, Rektor Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST), Ki Pardimin, tidak menjawab dan tidak membalas, Minggu (18/5/2025). (Red)
Editor : HR Oen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar